Mengevaluasi teks cerpen ialah pembahasan utama materi pelajaran bahasa indonesia yang akan dijelaskan secara lengkap pada bahan mencar ilmu berikut ini. Adapun sub pembahasan mengenai Evaluasi Teks Cerpen didalam mencar ilmu bahasa indonesia yang akan diuraikan yakni sebagai berikut :
1. Pengertian penilaian dan mengevaluasi.
2. #6 langkah-langkah meresensi cerpen.
3. #6 unsur-unsur resensi.
4. Contoh mengevaluasi teks cerpen.
Pengertian evaluasi
Evaluasi ialah penilaian. Mengevaluasi berarti menilai sebuah karya dari kelebihan dan kekurangannya. Penilaian terhadap sebuah karya umumnya disebut resensi. Berikut klarifikasi mengenai resensi cerpen.
#6 Langkah-langkah meresensi cerpen
1. Memilih cerpen
Pilihlah cerpen yang akan di resensi sesuai kebutuhan atau yang gres terbit, sedang menjadi perhatian umum, dan bermanfaat bagi masyarakat. Dengan kata lain, carilah cerpen yang layak di resensi.
2. Menguasai isi cerpen
Bacalah cerpen tersebut dengan cermat, jikalau perlu beberapa kali, untuk menikmati, memahami, dan menguasai isinya.
3. Mengidentifikasi isi cerpen
Dengan membaca, anda akan mengenali bagian-bagian yang menjadi kelebihan dan kekurangannya.
4. Meringkas isi cerpen
Bagian-bagian yang telah di identifikasi, anda susun kembali secara ringkas dan sistematis (membuat sinopsis).
5. Menilai isi cerpen
Berilah jawaban dengan cara menilai kualitas isi cerpen tersebut. Sebagai contoh, apa kelebihannya? Apa kekurangannya? Apa keuntungannya bagi pembaca? Buku tersebut cocok untuk kalangan apa? Bandingkanlah dengan buku lain yang topiknya sama.
6. Menyimpulkan
Langkah terakhir ialah menarik simpulan dengan memberi saran dan pertimbangan kepada pembaca.
Baca juga Mengidentifikasi Dan Mengabstraksi Teks Cerpen
#6 Unsur-unsur resensi
Isi resensi mencakup unsur judul, identitas, sinopsis, jenis buku, kepengarangan, penilaian, dan simpulan. Untuk lebih jelasnya perhatikan uraian berikut ini.
1. Judul resensi
Judul resensi harus menarik pembaca. Kalimatnya boleh sama dengan judul buku yang diresensi dan boleh juga tidak sama. Judul merupakan urutan pertama, tetapi penentunya biasa dilakukan sesudah goresan pena selesai disusun.
2. Identitas
Bagian ini sangat penting alasannya ialah merupakan informasi pokok dari cerpen. Identitas atau data publikasi mencakup antara lain sebagai berikut :
a. Judul cerpen
b. Nama pengarang
c. Nama penerbit
d. Tahun terbit
e. Jumlah halaman, dan
f. (jika perlu) harga buku, kertas, bentuk huruf, dan gambar sampul buku.
3. Sinopsis
Setelah menampilkan identitas, seorang presensi sanggup mulai menulis resensi dengan menampilkan ringkasan isi cerpen atau sinopsis. Dengan sinopsis, pembaca sanggup memperoleh citra mengenai sisi cerpen tersebut sehingga mempunyai landasan penilaian terhadap cerpen tersebut.
Baca juga Membandingkan Teks Cerpen Dengan Teks Novel, Legenda Dan Fabel
4. Jenis buku
Presensi perlu mengelompokkan buku yang di resensinya. Apakah termasuk buku fiksi atau nonfiksi, agama, politik atau jenis buku lainnya.
5. Kepengarangan
Latar belakang penulis cerpen yang di resensi perlu di jelaskan jikalau presensi mengetahuinya alasannya ialah akan menambah daya tarik bagi pembaca. Selain itu, unsur bahasa pengarang juga perlu di jelaskan. Unsur bahasa ini mencakup gaya penyampaiannya, sistematikanya, maknanya gampang atau sulit di pahami, dan lain-lain.
6. Penilaian
Penilaian merupakan unsur inti dalam sebuah resensi. Menilai berarti memilih kualitas, yaitu kelebihan dan kekurangan cerpen tersebut jikalau lebih banyak kekurangannya, maka cerpen tersebut sanggup di kategorikan sebagai cerpen yang tidak layak. Penilaian yang harus dilakukan secara objektif dan di sertai alasan yang logis.
Baca juga Menganalisis Dan Menyunting Teks Cerpen
Unsur yang perlu dinilai ialah isi dan kebahasaannya. Unsur isi berkaitan dengan struktur dan kaidah cerpen (intrinsik dan ekstrinsik).
- Bagaimana perwatakan tokohnya ?
- Bagaimana kronologi alur ceritanya ? menciptakan penasaran, datar, atau bahkan membosankan?
- Bagaimana tugas latarnya : bisa menghidupkan isi dongeng atau tidak ?
- Bagaimana konflik yang dihadapi para tokoh ?
- Apakah tema ceritanya menarik?
- Apakah cerpen tersebut mengandung nilai-nilai kehidupan yang baik?
- Bagaimana gaya penceritaannya, pilihan katanya gampang di pahami atau tidak?
7. Simpulan
Simpulan ialah memberi sugesti kepada pembaca dengan pertimbangan-pertimbangan apakah cerpen tersebut layak atau tidak untuk di baca. Kalau layak, beri kesan dan seruan semoga pembaca segera membaca dan patut mempunyai buku tersebut.
Baca juga Memproduksi Dan Membuat Teks Cerpen Lengkap Dengan Contohnya
Contoh mengevaluasi teks cerpen
Monyet Ayu Menggiring Surealisme
Judul : Mereka bilang, saya monyet!
Pengarang : Djaner maesa ayu
Penerbit : Gramedia pustaka utama
Tahun tebit : 2004
Cetakan : Keenam, mei 2004
Tebal buku : XII, 137 halaman
“Sepanjang hidup, saya melihat insan berkaki empat. Berbulu serigala, landak atau harimau. Berkepala ular, banteng atau keledai. Namun tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu memakai bahasa dan perilaku yang sopan. Mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting. Mereka bergaun indah dan berdasi. Bahkan, konon mereka mempunyai hati.
“Saya memperhatikan bayangan diri saya dalam cermin dengan cermat. Saya berkaki dua, berkepala manusia, tetapi berdasarkan mereka, saya ialah seekor binatang. Kata mereka, saya ialah monyet. Waktu mereka katakan itu pada saya, saya sangat gembira. Saya katakan, jikalau seekor monyet, saya satu-satunya hewan yang paling mendekati manusia. Berarti derajat saya berada di atas mereka, tetapi mereka bersikeras bahwa mereka insan bukan hewan alasannya ialah mereka punya logika dan perasaan. Saya hanyalah seekor binatang. Hanya seekor monyet!”.
Reaktif, provokator, bahkan subversif. Itulah kesan pertama saya membaca kalimat-kalimat dalam salah satu cerpen djaner maesa ayu yang berjudul “mereka bilang, saya monyet!”. Penggalan cerpen yang juga dimuat di sampul belakang antologi ini menyuguhkan panorama baru, pengutaraan prosa yang berkecenderungan punya “tegangan tinggi”.
Reaktif alasannya ialah kebanyakan cerpen dalam buku yang memuat sebelas cerpen ini merupakan tegangan-tegangan bahasa yang menuju pada simpul-simpul reaksi atas banyak sekali “kesakitan” yang dialami (diminati) para tokoh. Reaksi ini bisa di alami pengarang sebagai “pengalaman imajinatif”. Provokasi juga menjadi ujaran morvologi pada cerpen-cerpen djanar.
Secara sublim, ia bersama-sama memprovokasi dirinya lewat tokoh-tokoh untuk menggugat banyak sekali “ketidak bahagiaan hidup”. Saya tidak melihatnya sebagai laris feminitas. Sjanar sebagai moralis yang kadang puas dengan mengekspresikan dirinya. Ucapan “mereka bilang, saya monyet!” ialah provokasi bagi sang saya untuk menyadari “kadar kemanusiaanya”. Sementara subversi di capai dengan penceritaan yang di sampaikan secara tak lazim, termasuk penggunaan bahasa.
Cerpenis kelahiran 14 januari 1973 yang sudah di karuniai dua putri ini termasuk cerpenis yang sudah menandakan talenta dan kerja keras sebagai adonan sukses sesudah unsur “sudah kehendak takdir” ia terbilang baru, tetapi punya karya yang mencengangkan. Saya tidak tau sejauh mana kekerabatan serniotik djenar maesa ayu dengan tiga sastrawan yang juga di anggap sebagai guru, yakni sutardji calzoum bachri, akal darma, dan seno gumira ajidarma. Djaner mempersembahkannya untuk tiga sastrawan besar yang juga dikenal sebagai cerpenis itu. Namun, ini juga merefleksikan benang merah prosa ajaib hingga surealis yang menjadi dasar kesastraan djaner.
Dengan cara itu, disimak bahwa djaner melebih-lebihkan objek atau peristiwa, menyerupai pada cerpen “lintah”. Sang pencerita menceritakan kebenciannya pada pacar ibunya yang ia lihat sebagai lintah, bahkan kadang bisa membelah diri dan menjadi ular. Hiperbola itu juga dipakai pada “ mereka bilang, saya monyet!” yang melihat pria jahat “berkepala buaya berkaki kalajengking”.
Karyanya yang lain menyerupai “durian” berkisah tetang dosa dan kekuatan berlebih punya anak penderita kusta. “Melukis jendela” berkisah perihal anak tidak senang yang melaksanakan eskapisme (pelarian diri) dengan melukis dan “asmoro” perihal pengarang yang jatuh cinta pada tokoh fiksi ciptaannya. Kisah ini diungkapkan djaner dengan cukup cerdas.
Dalam penggunaan bahasa, ia terlihat fasih dengan ucapannya yang lugas dan tegas. Bahasanya padat dan berpengaruh sehingga bisa menohok setiap ihwal yang di jadikan objek tematik, cerpen “waktu nyala”, misalnya, merupakan cerpen yang mengalir kekuatan bahasa yang dikuasai djaner dalam berkisah untuk menyihir pembaca. Uraian seperti, “entah kapan persisnya nayla naila tidak akrab dengan waktu. Waktu bagaikan seorang pembunuh yang selalu membuntuti dengan mengintai dalam kegelapan. Siap menghunuskan pisau ke dadanya yang berdebar. Debaran yang pernah ia lupakan rasanya. Debaran yang satu tahun kemudian menyapanya dengan mengulurkan persahabatan abadi, hampir abadi, hingga saat sang pembunuh tiba-tiba muncul dengan sebilah belati,” menunjukkan kelancaran berbahasa dengan efektivitas diksi yang terjaga.
Meskipun cerpen ini kurang berhasil, ia menjadi kaya alternatif yang memakai medium bahasa teknologi dalam pemaparan sebuah cerpen. “Sms” memang berteman bisa juga kurang berhasil sebagaimana karya “menepis harapan”, “namanya ...”, serta “manusia dan dia”, yang lebih terasa sebagai cerpen dengan tuturan bahasa kuat, mengalir, tetapi kehilangan roh tematik atau, dalam beberapa hal, alur dan endingnya gampang di duga. Mungkin ini berkaitan dengan jam terbang djaner maesa ayu yang baru. Sebagai pendatang gres dalam dunia prosa indonesia, djaner sudah menjadi young diva sesudah ayu utami dan danar rahayu. Ia juga seorang surealis hebat sesudah joni ariadina dan agus noor.
(Eriadi Budiman)
Demikian pembahasan mengenai mengevaluasi teks cerpen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar